Keinginan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk mencari solusi terbaik atas penolakan
agen inspeksi, ibarat buah simalakama. Dimakan bapak mati, tak dimakan ibu mati.
Perdebatan atas keberadaan pemeriksaan kargo dan pos di bandara oleh agen inspeksi atau regulated agent (RA) sejatinya muncul bahkan sejak 2011. Pada tahun itu, Kementerian Perhubungan merilis Peraturan Dirjen Perhubungan Udara No.SKEP 255/IV/2011 tentang Pemeriksaan Kargo dan Pos yang Diangkut Pesawat Udara.
Regulasi tersebut membuka jalan bagi perusahaan swasta untuk menjadi agen inspeksi pemeriksa barang kiriman sebelum naik ke pesawat udara.
Saat itu, baru ada tiga perusahaan yang diberi izin yakni PT Ghita Avia Trans, PT Duta Angkasa Prima Kargo dan PT Fajar Anugrah Semesta.
Kini, tercatat ada 19 perusahaan yang berfungsi sebagai agen inspeksi dan tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Pemeriksa Kargo dan Pos Indonesia (Appkindo).
Sejak agen inspeksi diberlakukan, perusahaan pengiriman ekspres mulai melancarkan protes akibat terbebani biaya tinggi pemeriksaan kargo serta kian lambatnya proses pengiriman barang.
Perusahaan pengiriman yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) membeberkan lonjakan biaya logistik akibat munculnya agen inspeksi.
Wakil Ketua Umum DPP Asperindo Budi Paryanto mengatakan bahwa awalnya biaya agen inspeksi hanya Rp350 per kilogram, yang kemudian naik lagi menjadi Rp550 per kilogram.
Dia melanjutkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 32/2015 tentang Pengamanan Kargo dan Pos serta Rantai Pasok tidak menetapkan tarif batas atas, melainkan hanya tarif batas bawah.
“Ini tidak sejalan dengan keinginan pemerintah yang katanya ingin menurunkan biaya logistik,” katanya belum lama ini.
Hal yang sama juga dikeluhkan Asosiasi Forwarder dan Logistik Indonesia (ALFI). Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan bahwa pemeriksaan kargo dan pos oleh pihak swasta selama ini tak berjalan efektif. Dia menyatakan masih sering ditemukan barang yang dilarang masuk pesawat.
Oleh karena itu, Yukki meminta harus ada penindakan dan kejelasan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran seperti lolosnya barang yang dilarang masuk ke pesawat. Agen inspeksi swasta juga dituding hanya mengejar keuntungan semata dan mengabaikan pelayanan.
Tudingan negatif terhadap agen inspeksi ditolak mentah-mentah oleh Appkindo.
Ketua Umum Appkindo Adrianto Soejarwo menuturkan perusahaan pengiriman barang sudah barang tentu mengeluh akibat keberadaan agen inspeksi. Alasannya, perusahaan pengiriman ekspres tak bisa lagi mengirim barang seenaknya sejak agen inspeksi beroperasi.
“Barang-barang terlarang yang dulu bisa lolos sekarang tidak bisa lagi. Prosedur kami lebih ketat,” tuturnya kepada Bisnis.
Menurutnya, anggota Appkindo berulang kali menemukan paket kiriman berisi narkoba sejenis ekstasi dan ganja. Adrian bahkan menyatakan anak buahnya beberapa kali sempat akan disogok oleh agen pengiriman barang.
Terkait dengan biaya yang dikeluhkan perusahaan jasa pengiriman, dia mengatakan pihaknya tidak akan serta merta menaikkan biaya tanpa dasar yang jelas. Biaya tersebut wajar mengingat alat pemeriksaan yang mereka pakai tergolong canggih.
Dia mencontohkan satu mesin X-Ray harganya sekitar US$450.000, sedangkan setiap agen inspeksi minimal harus punya dua unit mesin X-Ray sebagaimana instruksi Kementerian Perhubungan.
Selain itu, agen inspeksi juga harus menyewa lahan di bandara dengan kontrak 2 tahun dan membangun gudang sendiri.
MENCARI SOLUSI
Kementerian Perhubungan bukannya tinggal diam. Menhub Budi Karya Sumadi bahkan sampai harus melakukan inspeksi mendadak ke beberapa operator agen inspeksi di lingkungan Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng pada tahun lalu. Namun, Menhub menjelaskan masalah agen inspeksi merupakan persoalan yang kompleks.
Di satu sisi, dia banyak menerima aduan dari pelaku usaha yang merasa dirugikan oleh agen inspeksi. Pada sisi lain, operator agen inspeksi swasta tidak bisa serta merta dibubarkan mengingat investasi yang sudah digelontorkan amat besar. Agen inspeksi juga punya landasan hukum yang kuat.
Sekadar informasi, untuk membuka usaha agen inspeksi modal minimal yang harus tersedia adalah Rp25 miliar sesuai Permenhub No. 23/2015.
Oleh karena itu, Budi Karya akan mengkaji untung dan rugi dari keberadaan agen inspeksi tersebut. Dengan kajian itu, dia berharap bisa dicarikan solusi terbaik untuk masalah yang melingkupi agen inspeksi.
“Kita lihat dulu banyak manfaat atau masalahnya. Kalau banyak manfaatnya kita pertimbangkan, tetapi kalau banyak masalahnya akan kita selesaikan dengan cara-cara tertentu,”katanya.
baca juga:
Hal senada diungkapkan oleh Yukki. Dia meminta pemerintah segera mencarikan jalan keluar yang terbaik bagi operator
agen inspeksi. Menurutnya, hal tersebut tidak sulit asalkan semua pihak mendapatkan kepastian harga yang dapat dipertanggungjawabkan. Semoga!
-------------------------